Mempertahankan Idealisme Kebebasan
Review Film Cha Bau Kan
Sebuah
Film yang rumit untuk dipahami bagi saya, karena terlalu banyak
teka-teki di dalamnya. Tapi paling tidak saya akan sedikit menggambarkan
tentang perjalanan film cha bau kan. Sekilas kalau memandang secara
global film ini menceritakan tentang nasib perempuan pada masa tahun
1900, nasib siti nurhayati atau akrab dipanggil Tinung. Wanita pemuas
libido kaum lelaki hidung belang.
Film
ini juga diperankan ferry salim yang berperan sebagai pengusaha kaya
dari semarang, karakter yang dibangun adalah seorang yang memang “gila
perempuan” dia memandang perempuan dari paras mukanya. Namun pada
akhirnya dia menemukan wanita sejati yang bisa mengerti akan kebutuhan
cintanya, dengan penuh kasih sayang Tinunglah yang menjadi pujaaan hati
dari sang saudagar muda kaya.
Ada
banyak kasus dalam film ini, dari masalah hukum, nasionalisme. Sedikit
menyinggung di mana film ini pada akhir cerita ternyata banyak
menyinggung tentang perjuangan kemerdekaan. Sebuah perebutan dari awal
mula penjajahan belanda hingga akhirnya Indonesia jatuh di tangan
Nippon.
Namun,
ada satu hal yang mungkin terlupakan oleh kawan-kawan, pada saat itu
pers sangat berperan untuk menjadi kontrol sosial, sekaligus informasi
bagi masyarakat. Dan sungguh independnsi dari sebuah media/pers sangat
dipertarugkan. Ketika masa itu sudah ada upaya untuk membungkam pers,
apalagi zaman sekarang?
Hal
ini saya kira yang menarik untuk disorot bagaimana begitu besar peran
media dalam pengalihan isu, atau pun untuk memberi kabar bohong ketika
pers sudah tidak bebas. Ini menjadi menarik jika kita tarik ke kehidupan
masa kini, media menjadi lahan bisnis itu pasti. Tapi harus mempunyai
etika yang wajib dipertahankan. Kebebasan dan independensi dalam
memberitakan sesuat. Dengan tidak mementingkan mereka kaum berduit yang
bisa membungkam sebuah kebenaran. Dalam film tersebut ada contoh menarik
ketika seorang wartawan yang diundang makan malam dan diberi uang saku,
akhirnya pun uang itu dikembalikan. Tauladan yang baik saya kira namun
itu jarang terjadi sekarang, entah kenapa mungkin benar sekarang uang
adalah segalanya.
Tapi
setidaknya ini menjadi pelajaran untuk mencontoh sedkit pesan yang
disampaikan, sebagai anak muda yang kelak akan memegang bangsa ini,
bangsa yang besar yang multikultur. Dan juga multi kepentiangan yang
berbeda di setiap otak manusia. Dan menjadi PR bagi kita generasi pers
mahasiswa yang di masa depan mungkin bisa mengabdi dengan tetap menjaga
idealisme sebagai pers, yang turut berperan sebagai kekuatan bangsa,
sebagai kontrol terhadap pemerintah yang berkuasa. Semoga! Allahu a’lam
0 komentar:
Post a Comment