'Ngalap Berkah' di Justisia
Ubbadul Adzkiya'
Membaca
dengan senyuman mengembang ketika saya diminta oleh pemimpin redaksi majalah
untuk mengisi rubrik Justisiana ini. Seakan telah menjadi tradisi bahwa rubrik
ini ditulis oleh para alumni Justisia. Padahal saya merasa baru kemarin
mengenakan toga tanda berakhirnya studi di Kampus IAIN. Beribu kenangan seakan
ingin saya tumpahkan untuk membagi romantisme “proses” saya sebagai wadyabala
(bukan Wadyabala Dewa) Justisia . Semoga tulisan ini sekaligus bisa menjadi obat
“penolak lupa” bagi saya di tengah-tengah aktitifitas sehari-hari.
Ternyata
tidak mudah untuk memulai cerita saya tentang Justisia. Di mata saya, Justisia
tidak hanya sekedar sebuah organisasi mahasiswa ataupun organisasi pers
mahasiswa (Presma) semata. Jauh lebih dari itu, Justisia adalah the real
family.
“Dari
manapun, disini anda bisa menjadi apapun”, kalimat yang super sekali -kalau
pakai gaya ala Mario Teguh- saya kira bisa dibuktikan oleh semua yang
terlibat dalam komunitas kecil ini. Masih ingat betul ketika pertama
menginjakkan kaki di kampus IAIN Walisongo dengan naik sepeda motor Astrea
Grand 97 bersama almarhum bapak saya. Sebetulnya tidak menjadi cita-cita saya
kuliah di kampus ini, karena dulu berkeinginan menimba ilmu di negara Piramida,
Mesir. Namun, karena faktor lain-lain, gagal lah harapan untuk kuliah di luar
sana.
Akan
Tetapi saya sangat bersyukur bisa kuliah di Semarang tepatnya di Fakultas
Syariah, bukan karena saya diterima di jurusan yang ada embel-embel “Islam”
nya, tetapi karena ada Justisia disana. Coba bayangkan kalau benar saya kuliah
di Mesir, tentunya akan menjadi Ubbadul Adzkiya’, LC, sebutan bagi lulusan
universitas di Timur Tengah. Jenggot bisa dipastikan akan sedikit panjang
dengan pakaian celana cingkrang di atas mata kaki, meski tidak bisa
digeneralisirkan seperti itu. Dan akan akrab memanggil teman-teman dengan akhi
dan ukhti atau antum. Dan tentu tidak akan mendapatkan
kajian-kajian kritis yang dibahas di Justisia, dari Islamic Studies sampai
Sosiologi, dan banyak ilmu lain.
Justisia
memang bukan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) biasa. Dahulu, kalangan mahasiswa
secara umum, harus berulang kali berfikir atau setidaknya takut untuk masuk UKM
ini. Hal tersebut karena banyak yang menganggap Justisia adalah organisasinya
mahasiswa pintar, serta mahasiswa yang tidak pada shalat (ini sekedar anggapan lho!).
Setidaknya itulah yang melekat di benak mahasiswa, termasuk saya pada awal
menjadi mahasiswa Fakultas Syariah. Awalnya memang Justisia tidak menarik bagi
saya dan saya tidak berminat untuk masuk di dalamnya. Namun semua berubah
ketika saya bertemu dengan sosok M. Nasrudin. Beliaulah yang mengarahkan untuk
daftar di Justisia, karena pada waktu itu kebetulan saya masuk dalam peserta
bahtsul kutub pada saat Orsenik. Dengan komunikasi yg terjalin saya pun menjadi
murid Emnas (sapaan keren M. Nasrudin).
Nasrudin memang orang yang sangat berjasa mengarahkan saya ke jalan yang benar, sekaligus yang mencarikan tempat kos gratis, asrama IAIN. (Tetapi berakhir dengan cerita pilu dimana kita harus diusir oleh pihak kampus karena asrama tersebut ditempati mahasiswa program khusus Ushuludin).
Nasrudin memang orang yang sangat berjasa mengarahkan saya ke jalan yang benar, sekaligus yang mencarikan tempat kos gratis, asrama IAIN. (Tetapi berakhir dengan cerita pilu dimana kita harus diusir oleh pihak kampus karena asrama tersebut ditempati mahasiswa program khusus Ushuludin).
Justisia memang membuat
kita bermimpi banyak hal tentang masa depan. Mimpi bisa menjadi penulis,
wartawan, designer, fotografer, bahkan pengusaha. Kebanyakan orang masuk
justisia untuk menjadi salah satu di antara pilihan tersebut.
Ada banyak presepsi kenapa
orang masuk justisia, ada yang memang mengimpikan masuk sejak dulu dia masa SMA
yang sudah melihat produk justisia. Ada juga yang mendaftarkan karena
sosialisasi justisia kepada mahasiswa baru yang hebat. Dan ada yang mengalir
apa adanya,seperti saya masuk dalam kategori ini. Pilihan saya terhadap
Justisia karena memang lembaga yang pertama dikenal dan kemudian diarahkan oleh
mahasiswa senior untuk mendaftarkan diri.
Proses pengkaderan di
justisia memang berbeda dengan yang lainnya, justisia selalu menekankan
ketotalan dan keseriusan dalam mengikuti semua tahapan yang telah ditata dengan
apik oleh suhu-suhu nya meski tentunya sekarang sudah saatnya ditinjau
kembali menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa sekarang, dan tetap berpergang
pada kaidah al-muhafadhotu 'ala al-qadimi al-shalih,
wa al-akhdzu bi al-jadidi aslah.
Ingat, semua bisa menjadi
apapun di jusisia, bak kawah candradimuka yang bisa menghasilkan orang-orang
sukses. Namun ingat di sini hanya tempat untuk berproses bagi orang yang
serius, jangan melihat siapa sekarang Mas Rumadi, Kang Manto, Mas Iman
Fadhilah, Mas Tedi, dan banyak lainnya dari generasi pendiri sampai termuda yang
sudah menyebar se-antero dunia, tapi lihatlah perjuangan mereka dalam melawan
kemalasan, serta ketekunan mereka dalam berproses.
Dan yang terakhir
berprasangka baiklah kalian semua pada Tuhan, dan sungguh-sungguh dengan apa
yang kalian lakukan sekarang. Apapun yang anda pelajari di Justisia tidak akan
pernah sia-sia, karena Justisa memberi keberkahan. Buktikan itu. Hanya Allah
dan Gus Dur yang Tahu.
0 komentar:
Post a Comment