Mozaik Peradaban Dua Agama
Buku : Sejarah Perjumpaan
Islam-Kristen, Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terbesar di
Dunia
Penulis :Hugh Goddard
Penerbit : Serambi, Jakarta
Terbit : pertama, Januari 2013
Tebal : 402 halaman
Peresensi : Ubbadul Adzkiya'
Data-data yang dibubuhkan dalam buku ini
menjelaskan realitas kekinian ihwal hubungan dua agama besar dunia: Islam dan
Kristen. Periode demi periode, dua agama ini memiliki sejarah “yang tak
berkesudahan”. Laiknya dalam kontestasi politik, Islam dan Kristen
memperebutkan roti yang sama di seluruh penjuru dunia.
Tak heran jika hingga kini, persinggungan di
antara keduanya kerap memunculkan pesimisme. Perseteruan itu, ternyata,
sebagaimana dicatat oleh Hugh Goddard, telah merentang sejak dulu kala. Goddard
mengawali diskusi dengan menampilkan pelbagai argumentasi teologis dari
masing-masing agama. Hal ini sebenarnya wajar karena subjektifisme tidak akan
pernah lepas menghegemoni pandangan keagamaan.
Di panggung sejarah, Nabi Muhammad merupakan
tokoh yang bisa bergaul dengan siapa pun. Selama hidupnya, Goddard menjelaskan,
Muhammad sering berhubungan dengan kaum Kristen dan lebih sering dengan orang
Yahudi. Setelah Muhammad wafat (632/11), perlakuan Muhammad terhadap penganut
kedua agama itu dijadikan acuan. Pilihan politik nabi ini menjadi semacam
proposal untuk menirunya.
Lewat buku ini, Goddard menyelipkan optimisme
terkait dengan masa depan dunia yang—tidak bias dimungkiri—berada di tangan
kebijakan pemeluk dua agama ini. Berbicara tentang Perjanjian Baru (hal 30),
Goddard memposisikan diri netral. Menurutnya, seringkali terjadi salah tafsir
dalam menerjemahkan sebuah ayat. Dua ayat (Yohanes 14:6 dan Kisah Para Rasul 4:
12) harus dilihat dengan seksama.
Disebutkan oleh peneliti mutakhir bahwa
ungkapan keselamatan itu harus dipahami dalam konteks komunitas Yohamit yang
sangat sektarian. Klaim keselamatan itu, merunut latar belakang sosialnya
bercerita ketika menyembuhkan orang lumpuh di Bait Allah. Peringatan Goddard
ini memberikan penekanan bahwa dalam membaca sebuah teks keagamaan, seseorang
tidak boleh hanya mendasarkan diri pada “teks mati” tanpa mau menelisik lebih
jauh: apa dan mengapa teks itu bisa hadir.
Dalam ilmu tafsir, terdapat kajian yang
secara khusus menjelaskan bagaimana peran sabab
an-nuzul (sebab turunnya ayat) sangat berpengaruh signifikan terhadap cara
pandang. Berbekal pengetahuan yang komprehensif mengenai sabab an-nuzul,
seseorang tidak akan gegabah memahami teks keagamaan tanpa terlebih dulu
berjibaku dengan banyak penafsiran yang melingkupinya. Dan, sepertinya, hal itu
yang sering menimbulkan sengketa.
Sebagai dua kekuatan yang memiliki pemeluk
terbesar di dunia, Islam-Kristen tentu mempunyai “agen” tersendiri untuk
menyelamatkan muka di hadapan masyarakat global. Untuk itu, buku ini, bisa
ditempatkan sebagai referensi membangun dialog harmonis. Itu tercermin dari
sejarah perjumpaan yang dijelaskan Goddard secara gamblang. Interaksi salingketerhubungan
itu bias disimak dalam Bab Gelombang
Kedatangan Islam dan Era Pertama Perjumpaan Kristen-Islam.
Satu hal yang tak bisa ditampik adalah bahwa
masa lalu yang kelam di antara keduanya memang bagian dari tinta sejarah.
Namun, masa depan yang lebih damai ialah hak kita untuk memperjuangkannya
menjadi kenyataan. Itu sebuah tugas. Buku ini, di samping meramu belang sejarah
juga membentangkan petuah untuk berbenah.
Yang menjadi keresahan dosen senior Teologi
Islam di University of Notthinggham ini—seraya berharap—berbekal pemahaman yang
lebih baik mengenai hubungan Kristen-Islam di masa lalu, mestinya bias
membangun hubungan yang lebih harmonis. Di masa kini dan nanti, eksistensi
keduanya tidak memicu konflik yang berulang. Sebaliknya, menumbuhkan optimisme
bahwa tiap agama membawa misi yang baik.
Dengan
menampilkan dua titik temu dan dua titik seteru di antara dua komunitas agama
terbesar di dunia, Hugh Goddard mencoba mendudukkan permasalahan sama tinggi-sama
rendah. Tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Justru, dengan begitu, kran
toleransi akan lebih terbuka lantaran keduanya sama-sama dikupas dengan
bersahaja. Bahwa, baik Islam maupun Kristen—sebagaimana agama-agama lain—memiliki
narasi positif dan negative di belantara sejarah masa silam.
Apa yang
dilakukan Hugh Goddard ini merupakan langkah bagus demi merajut dunia yang
penuh damai di antara sesama. Upayanya menampilkan sisi dua agama dalam
memandang satu dengan yang lain bisa dimaknai sebagai upaya menjadi netral
tanpa harus mengorbankan satu belah pihak.
Ibarat ada
sebuah konflik, Goddard terlihat ingin berdiri di tengah. Bukan dalam rangka
mengadu domba, justru mendamaikan agar bisa berjalan beriringan membangun
kebudayaan dunia yang beradab. Absennya intelektual yang memposisikan diri sebagai
“penengah” bisa mengancam keberlangsungan tatanan dunia yang diinginkan
bersama.
0 komentar:
Post a Comment