Hadits dalam Pandangan Orientalis
Kajian tentang Hadits memang manarik untuk diteliti oleh umat Islam maupun non muslim, karena hadits mempunyai posisi penting dalam islam sebagai sumber kedua setelah al Qur’an dalam menjawab semua permasalahan yang terjadi sekarang dalam islam. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Nabi tentang posisi hadits dan juga al Qur’an pun telah menerangkan tentang urgensi hadits sebagai pedoman umat islam.
Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah ada dan dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad. Misalnya, kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu naqd al-hadits (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad.
Kajian ini kemudian tidak hanya dilakukan oleh kaum muslim saja, kaum non muslim juga banyak yang melakukan kajian terhadap hadits. Tentunya non muslim mempunyai motivasi sendiri dalam mempelajarinya, apakah murni kajian akademis ataupun punya misi tertentu untuk menaklukkan islam dengan mengkritisi dogma yang telah dipercayai orang islam.
Diantara non muslim yang mempelajari hadits, nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain, yang melakukan kritik terhadap Hadits. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Ignaz Goldziher, misalnya meragukan orisinalitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh dengan mengatakan: “We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic”.Orientalis pertama yang melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher lewat bukunya Muhammadenische Studien (1890 M.). Upaya itu kemudian diikuti oleh Joseph Schact, seorang professor muda yang pakar dalam bidang hukum Islam. Di antara karyanya yang berkaitan dengan hadits dan sekaligus melambungkan namanya adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950 M.) dan an Introduction to Islamic Law (1960 M.). Adapun para orientalis sesudahnya tidaklah menrbitkan kajian hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari penelitian hadits.
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan Hungaria. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Goldziher belajar di Budapest, Berlin dan Liepzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria, mempelajari ilmu-ilmu keislaman di bawah asuhan Syekh Tahir Al- Jazairi, kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dan belajar dari ulama-ulama Al-Azhar. Sepulangnya dari Al-Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Budapest. Ia meninggal pada tahun 1921 M.
Goldziher banyak menulis mengenai keislaman yang dipublikasikan dalam Bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Salah satu karyanya adalah Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebuah karya yang menjadi rujukan utama kajian hadits di Eropa. Dalam bukunya tersebut ia antara lain berkesimpulan bahwa yang disebut hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw.
Salah satu kritiknya antara lain ia alamatkan kepada Bukhari. Menurutnya pemilik kitab shahih ini hanya melakukan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan. Akibatnya setelah dilakukan penelitian oleh Goldziher, salah satu hadits yang ada dalam sahihnya itu ternyata palsu.
Selain Goldziher, sesudahnya muncul pula orientalis baru yakni Joseph Schact. Ia dilahirkan di Silisie Jerman pada tanggal 15 Maret 1902. Schact belajar filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipizig. Pada tahun 1923, ketika usianya baru mencapai 21 tahun, ia meraih gelar doktornya dari Universitas Berslauw.
Schact adalah pakar hukum Islam, namun karyanya tidak terbatas pada disiplin tersebut melainkan tersebar dalam pelbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam, sains, filsafat dan lain-lain. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah The Origin of Muhammadan Jurisprudence (1950), dan An Introduction to Islamic Law (1960). Di antara obyek penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, kitab al-Umm karya al-Syafi’i , al-Muwaththa karya Muhammad al-Syaibani, dan lain-lain. Schact menyatakan bahwa pada masa al-Sya’bi (w. 110 H.) hukum Islam belum eksis. Dengan demikian bila ditemukan hadits-hadits berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits-hadits itu adalah buatan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Menurut Schact hukum Islam baru dikenal semenjak pengangkatan para qadhi, sedang pengangkatan ini baru terjadi pada masa Bani Umayah.
Dalam memberikan keputusan-keputusannya, para qadhi itu -menurut Schact- memerlukan legitimasi orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu para qadi tadi menisbahkan keputusan-keputusannya pada tokoh sebelumnya, seperti halnya orang Irak menisbahkan kepada al-Nakha’i. Mereka tidak hanya menisbahkan kepada orang-orang terdahulu yang jaraknya relatif masih dekat, melainkan menisbahkan juga pada mereka yang lebih dahulu lagi, sehingga pada tahapan akhir pendapat-pendapat tadi dinisbahkan kepada Nabi saw. Menurut Schact inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh di belakang. Itulah sebabnya teori Schact dinamakan “Projecting Back”.
0 komentar:
Post a Comment