Politik Kebijakan Agama di Indonesia
Di Negara kita Indonesia, sebenarnya banyak sekali agama di Indonesia, yang kemudian popular disebut dengan aliran kepercayaan. Di Indonesia, Negara terlalu banyak mengintervensi keyakinan masyarakatnya. Negara mendefenisikan agama sesuai dengan kedendak mereka, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang tidak memenuhi kriteria tidak bisa diakui sebagai agama resmi. Sehingga muncul istilah agama resmi dan tidak resmi.
Agama resmi adalah agama yang diakui Negara, ada hal yang harus dipenuhi oleh sebuah kerpercayaan/agama untuk bisa menjadi agama resmi, diantaranya harus mempunyai nabi, mempunyai kitab suci, mempunyai tuhan, dan mempunyunyai umat. Yang paling menarik kalau bicara agama dalam konteks Indonesia adalah cara negara memahami agama. Di tangan negara, agama tidak lagi memiliki muatan teologis atau sosiologis. Agama bukan lagi ”primary form of culture” dimana pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab (Gamwell). Agama juga bukan lagi kategori yang terdiri dari 4C Creed, Code, Cult dan Community. (Swidler dan Mojzes)
Agama dalam pandangan negara adalah kategori politik untuk membedakannya dengan kepercayaan. Agama adalah Ilahi dan kepercayaan adalah budayawi. Agama menjadi instrumen untuk memilah-milah mana yang beragama dan mana yang tidak. Dan akhirnya ada agama resmi dan tidak resmi. Ada agama legal dan ilegal.
Dengan pandangan tersebut terjadi diskrimanasi terhadap agama yang dianggap illegal oleh Negara, semisal dengan adanya kolom agama dalam kartu tanda penduduk, hal ini menjadi masalah bagi mereka yang tidak menganut enam agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi mereka juga akan mendapatkan perlakukan diskriminasi ketika dalam masalah perkawinan, pendidikan, dan hal lainnya yang bersifat administratif.
Sebagai contoh diskriminasi atas hasil dari kebijakan agama di Indonesia, ketika orang penghayat kepercayaan sekolah di sekolah negeri, dalam mata pelajaran agama mereka dipaksakan untuk mengikuti pelajaran agama mainstream yang ada di sekolah, kasus ini terjadi Kec. Undaan Kab. Kudus. Anak-anak orang samin diwajibkan ikut belajar agama Islam, dari tatacara bersuci sampai shalat, hal ini tentu saja bertentangan dengan keyakinan mereka.
Hemat penulis, “pelabelan” Negara terhadap agama “resmi dan tidak resmi” perlu dikaji ulang karena beragamnya kepercayaan yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut syarat akan kepentingan mayoritas agama tertentu.
Agama resmi adalah agama yang diakui Negara, ada hal yang harus dipenuhi oleh sebuah kerpercayaan/agama untuk bisa menjadi agama resmi, diantaranya harus mempunyai nabi, mempunyai kitab suci, mempunyai tuhan, dan mempunyunyai umat. Yang paling menarik kalau bicara agama dalam konteks Indonesia adalah cara negara memahami agama. Di tangan negara, agama tidak lagi memiliki muatan teologis atau sosiologis. Agama bukan lagi ”primary form of culture” dimana pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab (Gamwell). Agama juga bukan lagi kategori yang terdiri dari 4C Creed, Code, Cult dan Community. (Swidler dan Mojzes)
Agama dalam pandangan negara adalah kategori politik untuk membedakannya dengan kepercayaan. Agama adalah Ilahi dan kepercayaan adalah budayawi. Agama menjadi instrumen untuk memilah-milah mana yang beragama dan mana yang tidak. Dan akhirnya ada agama resmi dan tidak resmi. Ada agama legal dan ilegal.
Dengan pandangan tersebut terjadi diskrimanasi terhadap agama yang dianggap illegal oleh Negara, semisal dengan adanya kolom agama dalam kartu tanda penduduk, hal ini menjadi masalah bagi mereka yang tidak menganut enam agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi mereka juga akan mendapatkan perlakukan diskriminasi ketika dalam masalah perkawinan, pendidikan, dan hal lainnya yang bersifat administratif.
Sebagai contoh diskriminasi atas hasil dari kebijakan agama di Indonesia, ketika orang penghayat kepercayaan sekolah di sekolah negeri, dalam mata pelajaran agama mereka dipaksakan untuk mengikuti pelajaran agama mainstream yang ada di sekolah, kasus ini terjadi Kec. Undaan Kab. Kudus. Anak-anak orang samin diwajibkan ikut belajar agama Islam, dari tatacara bersuci sampai shalat, hal ini tentu saja bertentangan dengan keyakinan mereka.
Hemat penulis, “pelabelan” Negara terhadap agama “resmi dan tidak resmi” perlu dikaji ulang karena beragamnya kepercayaan yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut syarat akan kepentingan mayoritas agama tertentu.
0 komentar:
Post a Comment