Pernikahan Ubed-Anis dan Kisah Cinta Khoirul Anwar dengan Nama “yang dibayangkan”
Oleh: Tedi Kholiludin
Gambaran
kontras tergambar pada dua laki-laki dalam relasinya dengan wanita. Pertama,
laki-laki yang konsisten dan berketetapan hati pada satu wanita. Yang menjalani
proses ini biasanya hidup tenang, santai dan bisa berpikir untuk hal lain,
karena soal pasangan hidup nyaris selesai. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Kedua, laki-laki yang berhenti di banyak terminal dengan alasan terus
berproses. Umumnya, ia hidup serba tak tentu. Galau, kata anak sekarang. Jika
yang pertama adalah Ubbadul Adzkiya',
yang kedua, tak lain dan tak bukan adalah Khoirul Anwar.
Pernikahan
Ubed dengan Anis Fitria,
12 November 2016, bagi kami yang ada di eLSA maupun adik-adik di Justisia dan
Invest, tentu adalah kabar baik. Namun, sesungguhnya hari dan tanggal baiknya
memang hanya tinggal menunggu waktu. Kurang lebih 4-5 tahun mereka menjalin
relasi. Jadi, merupakan sesuatu yang tidak teramat mengejutkan sesungguhnya
ketika dua bulan lalu, Ubed mengkhitbah Anis.
Saya
tentu saja mengenal keduanya luar dalam. Dua-duanya adalah adik-adik saya di
eLSA, juga Justisia. Dua-duanya mengikuti proses pengenalan dengan sangat
smooth. Perkenalan mereka tak hanya dua individu, tetapi juga keluarga
keduanya. Mematangkan lingkungan sekitar, sudah mereka tuntaskan sejak
awal-awal berelasi.
Perjalanan
hidup Ubed menjelang dan pasca lulus nyaris semuanya terekam dalam file memori
saya. Ketika tahun 2010 saya berniat mengontrak rumah untuk kantor eLSA di
Pandana, Ubed adalah salah satu yang saya tawari karena ketika itu ia tinggal
menulis skripsi. “Iya mas, aku ikut. Ingin diarahkan sembari mulai menata masa
depan,” jawabnya ketika saya menawari dia. Meski saya dan Ubed berselisih lima
tahun angkatan, tetapi kami melewati satu periode bersama. Tinggal di rumah
yang sama selama kurang lebih tiga tahun. Kebersamaan yang kami lakoni pada
gilirannya melewati batas-batas usia dan angkatan. Saya kemudian pindah ke
rumah Bringin dan Ubed pindah ke kantor eLSA yang baru di Perum Depag.
Tahapan
yang agak berat dilewati oleh Ubed tentu saja ketika ayahnya meninggal pada
2011. Sebagai anak pertama, ia harus menjadi ayah sekaligus kakak untuk tiga
orang adik-adiknya. Di usia yang masih 22-23 tahun, tentu bukan hal yang mudah
untuk mengarahkan dan membiayai adik-adiknya serta mencukupi kebutuhan di
kampung halamannya di Batang sana. Padahal, boro-boro untuk memikirkan
adik-adiknya, kebutuhan sendiri saja masih harus pontang-panting. Saya kerap
berkaca pada perjuangan Ubed di tahun-tahun awal ditinggalkan ayahnya.
Bagaimana ia melewati momen kedukaan, menerima kenyataan bahwa ia harus menjadi
kakak, dan pada satu titik, menyiapkan diri untuk membangun rumah tangganya
sendiri, sembari tetap menjalankan fungsinya sebagai ayah.
Di titik
inilah, saya kira, kehidupan Ubed sangatlah momentual. Berat, penuh tantangan,
tapi mau tak mau, itulah tanggungjawab yang harus dipikulnya. Saat ini mungkin
kita hanya menyaksikan Ubed yang melepas masa lajangnya dengan sejuta senyuman.
Tapi, masa-masa 2011-2012, adalah ujian hidup yang tak semua orang bisa
melewatinya dengan tetap menegakkan kepala. Jika ingin belajar tentang ikhlas,
sabar dan ketabahan menghadapi musibah, belajarlah pada Ubed pada masa-masa
itu.
Salah
satu yang merupakan kelebihan Ubed, sependek yang saya tahu, adalah
kematangannya dalam mengelola emosi. Bukan berarti tak bisa dan tak pernah
marah. Karena saya tahu, Ubed sangatlah keras dan rada-rada galak kepada
adik-adiknya. Tapi yang saya maksud adalah ia cukup dinamis dalam menarik dan
mengulur emosi dan perasaan; kapan harus responsif, dan kapan mesti reaktif.
Makanya,
meski dalam keadaan harus memberi perhatian lebih kepada keluarganya di kampung
halaman, ia tetap fokus belajar. Ubed pun melanjutan studi. Tak
tanggung-tanggung, ia belajar di dua kampus untuk Program Pascasarjana.
Manajemen Pendidikan di UKSW Salatiga dan Ekonomi Islam di UGM Yogyakarta. Dan
kedua-duanya ia tempuh tanpa biaya, alias beasiswa. Di eLSA, hanya dua orang
yang menggondol double master, Ubed dan Rofi.
Selama
studi Pascasarjana itulah, Ubed (serta Cecep, Yayan dan lain-lain) menjadi
garda depan dalam implementasi program-program eLSA. Karena setelah menikah,
praktis saya hanya memantau dan mengarahkan saja, jarang sekali terlibat
langsung di lapangan. Meski tidak mengarahkan secara langsung, tetapi saya
menyarankan Ubed agar tetap ada di lingkungan akademik. Dengan konsisten
menggeluti dunia kampus, basis keilmuan akan tetap terjaga. Tak hanya itu,
penguasaan basis teoritik yang kuat akan sangat mendukung kerja-kerja advokatif
di eLSA. Dan sekarang, frase “masa depan” dalam kalimat “Ingin diarahkan
sembari mulai menata masa depan,” yang pernah disampaikannya, mulai tergambar
maksudnya.
Pergulatannya
dalam melewati lika-liku hidup tentu agak sedikit terbantu karena dalam hal
mencari pasangan, ia sudah tak lagi “berhenti di banyak stasiun.” Ubed sudah
memantapkan hati dalam rentang waktu yang lama. Meski tidak dalam sebuah ikatan
yang memastikan, tetapi gambaran tentang pada siapa hatinya berlabuh, sudah ada
dalam bayangan. Dan Anis, dengan sabar dan telaten, menemaninya melewati fase
demi fase kehidupannya Ubed. Menemani saat ia ditinggal sang ayah, merawatnya
di rumah sakit, mentraktirnya sesekali ketika tak ada uang sepeser pun di
kantong Ubed serta momen-momen lainnya, yang seperti umumnya mereka yang sedang
merajut kasih, kerap naik dan turun.
Ubed
sudah memantapkan waktu dalam hal berproses dengan wanita, sehingga itu menjadi
salah satu sebab mengapa ia begitu tenang dan santai dalam menghadapi keadaan.
Situasi
berseberangan dialami Khoirul Anwar. Hingga saat ini, perjalanan cintanya
sangatlah misterius. Spekulasi demi spekulasi kepada siapa pada akhirnya ia
berlabuh, terus bermunculan. Tapi tak lama kemudian, berguguran satu demi satu.
Muncul satu nama, nama lain tenggelam. Dan begitu seterusnya. Tak jarang, kalau
ia terus menerus ada dalam kegalauan, ketidakpastian. Sembari menghisap rokok
dan menyeruput secangkir kopi, ia kerap mengumbar cerita tentang pernikahan
dirinya dengan nama-nama “yang dibayangkan.”
Selamat
menempuh hidup Baru, Ubed-Anis...
Tedi,
Meiga dan Najma
0 komentar:
Post a Comment